PETA INDONESIA

PETA INDONESIA

Selasa, 15 Desember 2009

KERAJAAN TABUKAN



I. Raja Makaampow Bawengehe 1600 – 1620
Putra dari Kulane Tangkuliwutang dengan permaisuri Nabuisan. Berkedudukan di Sahabe bekas Kerajaan mertunya Mamata Nusa. Ia memperistrikan ke
dua putri dari Raja Mamata Nusa yaitu Timbang Sehiwu dan Sompo Sehiwu. Makaampow tewas dalam pertempuran pada serangan ke dua kalinya yang dilakukan oleh pahlawan Hengkeng Unaung dengan satu armada dari Siau dengan bantuan Pahlawan Ambala dari Tamako. Kekalahannya ini adalah pengkhianatan pengawalnya bernama Tahapansiang yang penuh kebencian kepada majikannya sewaktu mereka menjala ikan di Teluk Laine. Suatu malam yang terang disinari bulan purnama yang tidak diduga-duga ada musuh memasuki Teluk Laine. Makin lama musuh dari laut makin dekat pantai dimana Makaampow tidak ada persiapan untuk berperang. Dengan tidak kehilangan akan maka diangkatnya ikan belanak yang didapatnya ke udara dan karena kena cahaya bulan maka musuh melihat bagaikan pedang yang disandangnya sehingga musuhnya agak ragu-ragu. Kesempatan ini dipergunakan oleh budaknya berenang memberitahukan ke musuh untuk menyerang karena yang diangkat itu bukan pedang melainkan ikan belanak atau gare (dalam bahasa Sangir). Walaupun Makaampow tidak bersenjata namun kejar mengejar disepanjang pesisir utara mulai dari teluk Laine sampai teluk Peta dan berakhir di Tanjung Lapopahe, dimuka negeri Peta Makaampow tewas dalam tangan Ambala. Ia mati diujung pedang keluarganya dimana Pahlawan Ambala adalah andalan Kulane Matandatu dibelahan barat sebelum Tamako keluar dari Kerajaan Saluran pada tahun 1575 dan bergabung dengan Kerajaan Siau. Batu dimana bekas pertempuran tersebut dinamai Batu Weka dimana pedang Ambala membunuh Makaampow berbekas. Oleh karena itu timbul nyanyian (sasambo):

“Pili” I Ambala sarang batu weka,
Hengkeng U Naung Limuhum Sebune,
Nanenten bara’ e gare,
Pinahun tika monda’.

Yang artinya dalam bahasa Indonesia kira-kira demikian :

Parangnya Pahlawan Ambala sampai batu belah,
Pahlawan Hengkeng Unaung mengelilingi buihnya,
Mengangkat pedangnya belanak,
Dikiranya pedang…

Kepala Raja Makaampow dibawa dengan sorak kemenangan ke Siau oleh pahlawan
Hengkeng . Kepala Raja Makaampow diambil kembali dari Siau oleh Pahlawan Kumale. Oleh
sebab itu ada nyanyian lagi (sasambo) :

“ Mebua” bo’en Tabukan, benteng bo’en dinge’e
Tarai sarang Siau, memena’e Karangetang
Tarai mengala’tembo masaghiwu’etanggulu
Tembo’ I Ratu Wawengehe’ tanggulu’en Makaampow
Enae’ bawaeng saghenuang sarang Moade I wentan
Balan Manuwe.

Dalam bahasa Indonesianya kira-kira adalah demikian :

Berangkat dari Tabukan, mengangkat kiriman,
Pergi ke Siau, menuju Karangetan,
Pergi mengambil kepala, membawa tengkorak,
Kepala Raja Bawenghe, tengkoraknya Makaampow,
Dibawa ke Saluran (Meade’) dikubur di Manuwe.

Namun keduluan dibawa oleh Ambala dibawaa ke Mengga’e dan dikubur di sana yang
sekarang ini dikenal dengan Menggawa.

Mulai peristiwa tersebut maka hubungan Tabukan dan Siau mulai tegang.

II. Raja Wuaten Semba Yudha I 1620 – 1665
Putra Raja Makaampow dari permaisuri Timbang Sehiwu.

III. Raja Ghama Vasco da Gama Gaman Banua 1665 – 1670
Putra Raja Wuaten Semba Yudha I dengan permaisuri Taskea dari Tagulandang. Dalam pemerintahan Raja Ghama wilayah kerajaannya di Talaud, pulau Salengkor dan Kabaruan diberikan kepada cucunya Maimuna yang menjadi permaisuri Raja Batahi dari Siau.

IV. Raja Fransisco Makaampow Yudha II 1670 – 1700
Putra dari Raja Ghama dengan permaisuri Uhentinendeng putrid dari Raja Tatohe dari Kerajaan Tahuna. Wilayah kerajaannya pulau-pulau disebelah Selatan, Kahakitan Para, Manongetan, diberikan kepada putrinya Maimuna yang menjadi permaisuri Raja Batahi dari Siau. Hubungan antara Tabukan dan Siau mulai membaik. Setelah melahirkan putra Rarame Nusa maka hubungan antara Tabukan dan Siau pulih kembali. Oleh karena itu arti Rarame Nusa adalah pendamai Nusa.

V. Raja Dalero 1700 – 1720
Putra dari Raja Yudha II dengan permaisuri Dolontengo putri Raja Palango dari Tagulandang.

VI. Raja Mehengkelangi 1720 – 1745
Saudara dari Raja Dalero

VII. Raja Karula 1745 – 1770
Putra dari Raja Mehengkelangi dengan permaisuri Belisehiwu dari Tagulandang.

VIII. Raja Sani 1770 – 1795
Putra Jogugu Bulega Langi dengan permaisuri Punsangiang putri Jogugu Wakari Sulung. Keturunan beliau tidak ada yang menjadi Raja sedangkan ada putrinya bernama Tarumensah tetapi meninggal waktu masih kecil. Oleh sebab itu Tabukan mengangkat putra Raja Manulung Pansage dari Taruna bernama Paparang Paha Wuaten dari Taruna. Paparang Wuaten adalah cucu Jogugu Takaulimang dari Tabukan, saudara Raja Fransisco Makaampow Judha I.

IX. Raja Julius Hendrik David Paparang Paha Wuaten 1795 – 1820
Putra Raja Manulung Bansage dari Taruna dengan Permaisuri Murusilang putri Raja Lohontundali dari Siau.

X. Raja Laudagima Paparang 1820 – 1875
Putra Raja Julius H. David Paparang dengan permaisuri Hote Wulaeng putri Raja Ismail Jacobus Mehengkelangi dari Siau.

XI. Raja Webesan Ignatius Nicolas Paparang 1875 – 1880
Putra Raja Laudagima Paparang dengan permaisuri Sirang.

XII. Raja Kumuku Antonius David Paparang 1880 – 1900
Putra Raja Webesan Paparang dengan permaisuri Lawewe putri Raja Tampungan dari Manganitu.

XIII. Presiden Raja Siri Darea 1900 – 1908

XIV. Raja Papukule David Sarapil 1908 – 1924
Putra Jogugu Pameras dengan permaisuri Hadinda. Pada jaman pemerintahan beliau Amerika mengklaim pulau Miangas pada Belanda pada tahun 1912. Dengan
tiga buah kapal perangnya Amerika menduduki pulau Miangas dan menurunkan bendera Belanda di pulau itu. Alasan Amerika bahwa pulau Miangas adalah wilayah Philipina karena berada tidak jauh dari pantai Mindanao. Dalam peristiwa tersebut ke dua pihak mengerahkan kapal perang masing-masing dan silih berganti menduduki pulau itu. Namun ke unggulan berada di pihak Amerika sehingga Amerika menduduki pulau Miangas. Pusat pemerintahan Belanda di Makasar tidak dapat berbuat apa-apa karena tidak ada sesuatu dokumen yang menjadi dasar baginya karena Belanda merebut pulau-pulau Sangir dengan kekerasan, maka tentunya Amerika pun dapat berbuat demikian terhadap Belanda. Setelah Raja Papukule David Sarapil melihat bahwa Belanda tidak mempunyai kemampuan dalam perampasan Miangas, maka beliau memberikan peringatan kepada pemerintah Belanda baik di Makasar maupun Menado agar tidak mencampuri penyelesaian pulau Miangas yang telah diduduki oleh Amerika. Kerajaan Tabukan dapat menyelesaikan berdasarkan fakta-fakta sejarah. Beliau memerintahkan dua orang ahli sejarah kerajaan Tabukan Hendrik Makaminan dan Zakarias Adipati. Hendrik Makaminan diperintahkan ke kampung Sahabe (ex Kerajaan Pahawon Seke) dan Zakarias Adipati diperintahkan ke Saluran (ex Kerajaan Bulega Langi). Hendrik Makaminan mendapatkan lima dokumen dari sejarah Kerajaan Sahabe, sedangkan Zakarias Adipati mendapatkan tujuh dokumen dari sejarah Kerajaan Saluran. Setelah ke duabelas dokumen terkumpul dari dua ex kerajaan itu maka Raja Papukule David Sarapil mengutus Zakarias Adipati dengan satu surat mandat dari Raja untuk menemui Perwira yang menjadi Komandan Pendudukan di pulau Miangas. Raja Sarapil mengirimkan permintaan ke Makasar melalui Menado agar dikirimkan kapal Tujuh ke Tabukan untuk dipakai oleh utusan Tabukan dalam perundingan dengan Amerika di pulau Miangas. Permintaan ini dipenuhi oleh Belanda dan kapal Tujuh / Zeven Provincio dikirim ke Tabukan. Dengan menaiki kapal Zeven Provincio , Zakarias Adipati selaku utusan Tabukan dengan didampingi Kontrolur Lemanz de Ryter berangkat ke Miangas. Mendekati pulau Miangas kapal Zeven Provincio bertemu dengan tiga buah kapal perang Amerika yang mengadakan patroli. Mulut-mulut meriam Amerika diarahakan ke kapal Zeven P disertai pertanyaan-pertanyaan melalui sein lampu / morse. Setelah Kapal Zeven P menjawab pertanyaan itu dengan maksud untuk merundingkan wilayah dengan cara damai, maka diijinkan masuk dengan dikawal tiga buah kapal perang itu. Utusan Kerajaan Tabukan dipersilahkan turun ke darat dan diadakan perundingan dengan Perwira Amerika yang menjadi komandannya. Dalam pertemuan tersebut komandan pendudukan memberikan dasar hukumnya mengenai alasan pendudukan pulau itu, bahwa pulau Miangas termasuk wilayah Philipina bukan wilayah Hindia Belanda (waktu itu) karena letaknya di wilayah pantai Mindanao yang menjadi wilayah Amerika. Oleh karena itu hak kedaulatan pulau itu adalah hak Amerika. Dalam balasannya mengenai penjelasan Perwira tersebut, maka dijawab oleh Zakarias Adipati bahwa Amerika benar menurut letaknya dalam wilayah Mindanao tetapi karena Kerajaan Tabukan berpegang dari hak sejarah bahwa sejak 700 tahun lalu bahwa pulau ini adalah batas kerajaan moyang Gumansalangi Medellu dengan kerajaan Mindanao disebelah Utara dan ada faktanya berupa dokumen tua yang sudah dibawanya dan oleh sebab itu pulau Miangas adalah mutlak hak dari Kerajaan Tabukan. Untuk memperkuat keterangannya lagi bahwa sebelumnya pulau ini namanya bukan miangas tetapi Pekilateng (Kilat) yang menjadi satu titik tanda dalam pelayaran di jaman purba ke jurusan utara. Kata Miangas adalah berasal dari Mana Ese yang berarti hanya lelaki, dimana ditemui oleh pahlawan Arare Kenda pada waktu menginjakkan kakinya pertama kali dipulau itu , penghuninya semua adalah lelaki atau laki-laki. Lama kelamaan Mang Ese menjadi Miangas. Pada jaman pendudukan Belanda pulau Miangas disebut Palmas. Nama ini diberikan oleh Belanda sebagai 1 peringatan pada pertama kalinya Presiden Menado bernama Elama mengunjungi pulau itu. Namun yang jelas Pulau Miangas termasuk dalam keluarga kerajaan Tabukan. Dengan fakta-fakta yang tidak dapat dibantah oleh Amerika, maka Amerika mengalah dan berangkat meninggalkan Miangas. Bendera Belanda berkibar lagi di pulau Miangas yang tadinya sudah dirobek-robek oleh Amerika dan Lambang Singa yang telah dibuang ke laut berdiri lagi di pulau Miangas. Zakarias Adipati dan Lemans de Ryter pulang ke Tabukan dengan kemenangan diplomasi setelah bersilat lidah dengan sang komandan. Setelah insiden perbatasan tersbut makan Volkenbend segera bersidang pada tahun 1914 dan mensyahkan pulau Miangas adalah mutlak wilayah Hindia Belanda yang hingga saat ini pulau tersebut menjadi perbatasan antara Negara tetangga Philipina dan Negara Republik Indonesia dan menjadi hak mutlak NKRI.

XV. Raja Kahendake Willem Sarapil 1924 – 1929
Putra dari Raja P. David Sarapil dengan permaisuri Rachel. Pada jaman pemerintahan ayahnya maka pusat pemerintahan yang berkedudukan di Tabukan Lama ( Sea Tebe ) dipindahkan ke Enemawira pada tahun 1912. Pada tahun 1929 beliau dibuang oleh Belanda ke Kolonodale Sulawesi Tengah. Sama halnya dengan Raja Lodewyk Kansil yang menjadi ipar Raja K. Willem Sarapil dimana Belanda mulai meluncurkan politik penyingkiran terhadap Raja-raja yang mempunyai pendidikan. Beliau kembali ke Tabukan setelah Jepang kalah perang pada tahun 1945. Selama Negara Indonesia Timur berdiri maka beliau menjadi Ketua Senat dalam Negara Indonesia Timur. Setelah Negara Indonesia Timur buatan Belanda bubar pada tahun 1950. Pada tahun 1952 dengan keputusan pemerintah RI maka beliau ditetapkan sebagai konsul RI Pertama di Davao. Tetapi Tuhan menetapkan lain dan pada tahun 1952 beliau jatuh sakit setelah kembali dari Jakarta dan tidak sempat menduduki jabatan yang dibebankan kepadanya. Beliau wafat pada tahun 1952.

XVI. Raja Levinus Johannis Macpal 1929 – 1942
Putra Jogugu Rindu Macpal dari Menalu dengan permaisuri Rachel Patras Tenteng dari Taruna. Raja Macpal adalah Raja terakhir dari Kerajaan Tabukan. Beliau dibinasakan oleh penguasa Jepang setelah mendapat siksaan yang berat di penjara Taruna bersama adiknya Karel Macpal Jogugu Menalu dan dipancung oleh Jepang pada tahun 1942. Jenasah ke 2 bersaudara dimakamkan di Bungalawang Tahuna bersama korban lainnya yang mengalami nasib yang sama pada waktu itu.

Demikianlah sejarah Kerajaan Tabukan sejak berdiri sejak jaman Raja Makaampow Bawengehe mulai tahun 1600 – 1942.

Tidak ada komentar: